Friday, July 19, 2013

Agentventure: Si Kecil Pantai Timang yang Bikin Jantungan

Pernah liat ginian di atas laut?
Petualangan kami kali ini sangat mendebarkan. Bukan lebay tapi emang begitu kok. Aku  bareng partner agenku, seperti biasa kalau bertemu pasti selalu merencanakan pergi bertualang kemanapun angin meniupkan isyaratnya. Tujuannya (lagi-lagi) pantai di selatan Jogja.

“Pokoknya kita samperin pantai yang kamu belum pernah aja, gimana?” kata si Ciwul di awal perjalanan.

“Oke, nanti siapa tau nemuin pantai baru…” aku mengiyakan dengan cara itu.

Perjalanan dimulai pukul 06.00 WIB dengan motor  seksi punya si agen satu itu. Kami belum punya firasat apapun soal pemilihan motor seksi ini buat tunggangan di misi kali ini. Pertimbangannya sih cuma biar nggak capek aja karena pake matic yang tinggal muter gas sama mantengin rem bisa jalan. Wuuuush…meluncur ke arah Gunung Kidul lewat jalan Wonosari.

Setelah dua jam perjalanan menyusuri kelak-kelok naik-turunnya jalanan sepanjang Wonosari-Gunung Kidul, tiba-tiba si Ciwul nyeletuk,”Pantai Timang! Dari gambarnya keren…” Awalnya aku sudah terlanjur penasaran dengan kata “timang” itu tapi karena sudah terlanjur menuju ke arah Pantai Siung, ya sudahlah samperin dulu lah pantai satu itu meskipun udah pernah sih sebelumnya. Sebelumnya kami sudah mampir dulu juga ke Pantai Pok Tunggal yang menurut agen satu, suasananya udah jauh beda sama terakhir kali dia dateng ke pantai ini. “Sudah terlalu rame…”, katanya. Alhasil, kita cuma sebentar mampir di pantai satu ini.

Balik lagi ke topik sebelumnya, di pos pintu masuk Pantai Siung, aku sempat bertanya ke petugas yang jaga,”Pak, kalau Pantai Timang itu sebelah mana ya?”

“Oh Pantai Timang, Mas. Dari pertigaan yang di depan itu nanti belok kiri, terus ada jalanan cor setapak, masuk aja. Jalanannya lewat dusun gitu, sekitar 3 kilo,” kata bapak penjaga pos.

“Belum ada plangnya ya, Pak?”

“Memang belum saya kasih plang sih, Mas.”

“Oh begitu, terima kasih, Pak.”

Setengah mati nyari fotonya...
Begitulah akhirnya kami dapat info tentang lokasi Pantai Timang ini. Sempat kepikiran untuk putar balik saja tapi si partner satu ini bilang mendingan ke Siung aja dulu, lagian udah bayar retribusi juga kan sayang kalau nggak dipake. Berikutnya sampailah kami di Pantai Siung. Kunjungan sebelumnya, kami menghabiskan waktu di sini untuk berendam ala kuda nil dan ala putri duyung. Kali ini, kami mencoba menikmatinya dengan cara lain yaitu naik ke bukit di sebelah timur. Ternyata super epic nih Pantai Siung diliat dari puncak bukitnya meskipun anginnya juga super kenceng sampai-sampai jilbab si agen satu itu terbang-terbang. Nggak tega liatnya… tapi kami sempet bikin surat buat bos kami, Neptunus, dan nggak seperti biasanya, kali ini kita bikinnya pesawat bukan perahu. Sayangnya, kelupaan buat nerbanginnya di sini…saking nggak konsennya sama angina dan semakin ramenya suasana.

Lanjut aja ya, dari Siung ini kami bergegas ingin menuju Pantai Timang yang sudah telanjur bikin penasaran. Berbekal petunjuk dari bapak di pos penjaga tadi, kami berhasil menemukan jalan cor setapak yang dimaksud. Awalnya kami berpikir wah ini sih jalanannya enak kalau begini sampai pantainya, 3 kilometer nggak akan berasa jauh.

“Ini cuma kamuflase, liat aja nanti pasti jalanannya bakal ekstrim,” kata Ciwul.

Dan sepertinya kata “kamuflase” itu jadi word of the day banget hari itu soalnya terbukti setelah sekitar 500an meter menempuh jalanan cor setapak  yang tidak bisa dibilang mulus juga, jalanan mulai berubah menjadi batu-batu yang hanya ditata seadanya.

“Gludakkk! Jeglukkk! Klotaakkk! Prakkk!” Bunyi lebay bagian bawah motor seksi kami beradu dengan bebatuan. Kami mulai berpikir kalau ternyata salah bawa motor matic buat melewati jalanan macam ini, naik-turun dengan trek yang super nggak karuan berbatunya. “Bisa semplak nih motor lama-lama,”pikirku. Tapi apa boleh buat, perjalanan harus terus berlanjut. Ini bener-bener blusukan yang sesungguhnya blusukan.

Sekitar setengah jam trek yang harus dilalui “yang katanya cuma berjarak 3 kilometer ini”. Sesampai di “yang katanya Pantai Timang ini”, yang terlihat cuma ujung dari jalan setapak tadi dan sebuah gubuk kecil yang ternyata dipakai untuk parkir. Palingan hanya bisa memuat 5 motor saja. Di sana ternyata kami tidak sendiri karena ada sekelompok anak muda yang juga sedang berblusukan ria, sepertinya mereka mau photo hunting gitu.

Dari gubuk parkir ini terlihat sebuah pantai kecil berbentuk setengah lingkaran yang dikelilingi bukit batu. Menurutku sih pasirnya warnanya pink gitu, tapi kata partnerku tercinta, bukan. Apapun itu, pokoknya warnanya memesona gitu deh, dan suasanya bener-bener bikin pengen langsung turun ke sana, gegulingan di pasir dan main air sepuasnya.

Ketika kami akan menuju ke pantai yang letaknya agak ke bawah dari gubuk tadi, ada seorang bapak yang sedang mencangkul di area bukit di bagian atas gubuk. Kami pun bertanya…

“Permisi, Pak kalau di bagian atas itu ada apa ya?”

“Di sana ada kereta gantung. Bagus, Mas. Coba aja ke sana, nanti rugi kalo nggak kesana loh. Kereta gantungnya buat ke pulau kecil di seberang.”

“Hah? Kereta gantung, Pak? Beneran?”

“Bener, Mas. Coba saja ke atas.”

“Itu keretanya buat apa, Pak?”

“Buat ke pulau di seberang, buat ngambilin lobster di sana.”

Setelah percakapan itu, kami memutar haluan ke bagian atas yang ditunjukkan bapak itu kea rah lokasi kereta gantung itu berada. Kami berdua penasaran, benarkan yang dikaatakan bapak itu tadi. Kereta gantung di atas laut? Seperti apa penampakannya? Kami harus membuktikannya. Berjalan terus menyusuri punggung bukit di sebelah atas gubuk tadi, nggak nyampe 10 menit sampailah kami di jajaran pepohonan pandan laut yang memagari tebing pantai. Di bagian tengah jajaran pandan laut itu ada lorong untuk semakin mendekat ke arah tebing. Kami masuk lewat lorong itu dan….taraaaaaaaa… di sanalah tergantung sebuah kereta gantung dari katrol plus kayu yang disusun sedemikian rupa dan digantungkan diatas tali tambang biru yang terbentang sampai ke pulau kecil di seberang sana.
Mau nyebrang pake ini mesti rogoh kocek 1,2 juta meeen...
“WOW!” Ekspresi kami berdua setelah melihat kereta gantung ini. Tebing karang yang memagari bibir pantai ini menjadi pondasi kereta gantung tersebut. Ombak di bawah tebing terlihat besar dan suara deburannya sungguh terasa. Warna toska dan biru laut yang khas sangat menenteramkan hati kami. Tak henti kami mengucap syukur karena bisa menikmati lagi secuil pesona ciptaan-Nya yang luar biasa ini. Beberapa lama kami berada di sini dan mengambil foto tentunya buat narsis dan kenang-kenangan.

Karena terpesona dengan suasana di atas tebing ini, kami hampir lupa dengan pantai di bawah sana yang tadi jadi tujuan awal. Selanjutnya, kami menuju ke pantai yang menjadi tujuan awal kami tadi itu. Di bagian bawah sana, masih terlihat alunan ombak yang mengiringi perjalanan kami. Sampai di pasir pantai, kaki rasanya pengen cepet-cepet melepaskan alas dan segera berlari mengitari pantai yang memang berukuran kecil tapi sangat eksotis ini.

Pasir pantainya bertekstur kasar dan angin di pantai ini cukup kencang. Bibir pantainya dihiasi oleh karang-karang yang menjadi penghalang ombak sehingga air di bibir pantainya cukup tenang. Bisa banget buat mainan air…
Pasir Pantai Timang yang aduhai...
Dan yang paling mendebarkan adalah, kami di pantai ini cuma berdua, bener-bener berdua. Jadi, berasa pantai milik berdua doang, bebas mau mainan pasir dan air di sana. Dari gegulingan, foto-foto, sampai ditimbun pasir ala orang terdampar gitu. Nggak ada puasnya rasanya kami di sini dan ingin berlama-lama  tapi hari semakin sore dan kami harus pulang.
Bebas main air sepuasnya, berdua...
Kembali ke gubuk, bapak yang sebelumnya bercakap dengan kami ada di situ. Sempat ngobrol beberapa saat dan tau kalau ternyata Pantai Timang ini (yang aksesnya sangat susah dan masih sangat perawan ini, literally) ternyata sudah mendunia. Tercatat ada orang dari Amerika, Spanyol dan Negeri Para Boy-Girl-Band yang pernah syuting di pantai ini. Bener-bener nggak nyangka… dan yang bikin kami nggak nyangka lagi adalah saat bapak ini bilang,”Pantai ini milik pribadi, sudah saya sertifikatkan dan pemerintah nggak boleh sembarangan membangun di sini”. Kami terbengong dalam hati mendengar penuturan dari Bapak Adi Sumarno ini. Beliau juga menambahkan bahwa kereta gantung yang ada di sana adalah milik anaknya, Pak Warsito, yang digunakan bersama para petani lobster di dusun.

Pantai Timang ini memang sangat epic dan kami sangat berharap agar nasibnya nggak kayak pantai-pantai lain di selatan Jogja yang setelah masuknya modal-modal swasta/pemerintah, akhirnya hilang kealamiahannya. Sangat disayangkan jika hal itu terjadi dan jika memang benar pantai ini milik pribadi, semoga Pak Adi itu tidak terpengaruh oleh “apapun itu namanya” yang bakal merusak kealamiahan Pantai Timang ini. Jangan sampai ya, Pak. Kalau sampai rusak oleh tangan-tangan rakus tak bertanggung jawab, bakal bener-bener bikin jantungan pastinya. Biarkan pantai ini seperti ini saja, eksotis, alami, epic, terapis  dan bikin jantungan dengan sejuta pesonanya sebagai hidden paradise-nya Jogja.  Oh iya, kami lupa belum mencari tau makna dan asal-usul nama Pantai Timang ini. Next Agentventure yaaa…bakal kita cari tau sampe dalem-dalemnya. Kami janji bakal ke sini lagi…
Biarkan pantai ini tetep lestari dengan kealamiannya ya...


No comments:

Post a Comment